Netthreeone– Dalam sebuah pemberitaan media, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan kebijakan BPJS Kesehatan berdasarkan kelas 1, 2, 3 yang ada saat ini menyalahi prinsip Asuransi Kesehatan Nasional. Harusnya semua Masyarakat mendapatkan fasilitas yang sama tanpa membedakan golongan ekonomi.
Selain itu, Pak Menkes pun berkomentar bahwa perbedaan kelas itu membuat ada masyarakat yang mendapatkan layanan VVIP menggunakan BPJS Kesehatan. Menurut Pak Menkes, itu sama saja iuran dari orang yang tidak mampu jadi disumbang ke yang mampu.
Pernyataan Pak Menkes ini sepertinya mau mengatakan Presiden Joko Widodo yang selama ini menandatangani Peraturan Presiden tentang JKN sudah menyalahi prinsip Asuransi Kesehatan Nasional. Selama ini Perpres tentang JKN yaitu Perpes No. 12/2013 jo. Perpres No. 111 tahun 2013 jo. Perpres No. 19 Tahun 2016 yang diubah menjadi Perpres No. 82 Tahun 2018 jo. Perpres No. 75 Tahun 2019 jo. Perpres No. 64 tahun 2020, mengatur tentang pelayanan Kesehatan berdasarkan klas perawatan 1, 2 dan 3.
Pelayanan Kesehatan dalam program JKN yang diatur dalam Perpres-Perpres tersebut tidak membedakan pelayanan medis bagi seluruh peserta, namun memang ada pembagian kelas perawatan berdasarkan ruang perawatan yang merupakan pelayanan non-medis.
Pelaksanaan jaminan sosial di UU SJSN dan UU BPJS didasarkan pada 9 prinsip yaitu kegotong-royongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib; dana amanat dan hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.
Dari 9 prinsip tersebut, menurut Saya, tidak ada yang dilanggar dalam pelaksanaan program JKN yang sudah di tahun kesepuluh saat ini.
Saya berharap Pak Menkes bisa menjelaskan dalilnya dengan pendekatan 9 prinsip tersebut bahwa kebijakan BPJS Kesehatan berdasarkan kelas 1, 2, 3 yang ada saat ini menyalahi prinsip asuransi kesehatan nasional.
Regulasi tentang JKN memposisikan seluruh peserta JKN mendapatkan pelayanan medis yang sama dan selama saya menangani kasus-kasus di program JKN, tidak ada peserta yang mengeluh dan merasa didiskriminasi atau mendapat ketidakadilan karena adanya pembagian kelas perawatan 1, 2 dan 3.
Yang selama ini menjadi keluhan masyarakat peserta JKN adalah akses terhadap RS khususnya akses untuk rawat inap. Hingga di tahun ke sepuluh penyelenggaraan JKN, masih ada keluhan peserta JKN yang sulit mendapatkan ruang perawatan dengan penjaminan JKN sehingga dengan terpaksa harus menjadi pasien umum.
Demikian juga masih ada pasien JKN yang harus menanti untuk operasi dan dipulangkan dalam kondisi belum layak pulang, harus membeli obat sendiri, Dsb.
Untuk RS, tentunya dengan KRIS satu ruang perawatan akan membuat RS merenovasi ruang perawatannya dari 3 klas menjadi 1 klas, sehingga bisa memenuhi 12 kriteria KRIS dan ini akan membutuhkan dana renovasi. Tidak semua RS memiliki dana segar untuk membiayai merenovasi ruang perawatan. Bila tidak bisa memenuhi 12 kriteria KRIS maka berpotensi tidak bekerjasama lagi dengan BPJS Kesehatan. Ini pun akan mengurangi jumlah TT yang bisa diakses peserta JKN.
Terkait dengan pernyataan Pak Menkes tentang masyarakat yang mendapatkan layanan VVIP menggunakan BPJS Kesehatan, Saya menilai Pak Menkes tidak paham dengan konsep selisih biaya yang diatur di Peraturan Menteri Kesehatan No. 51 tahun 2018 yang juga dilegitimasi di UU Kesehatan yang baru disahkan.
Tentunya peserta yang naik klas perawatan akan membayar selisih biayanya sendiri atau menggunakan asuransi swasta, sementara BPJS Kesehatan hanya membayar sesuai klas perawatan yang menjadi haknya.
Pelaksanaan KRIS berpotensi menimbulkan masalah yang lebih besar lagi baik bagi peserta, RS maupun BPJS Kesehatan. Saya berharap Pemerintah menerapkan KRIS dengan menstadarisasi klas perawatan 1,2 dan 3 yaitu klas 1 maksimal 2 TT, klas 2 maksimal 3 TT dan klas 3 maksimal 4 TT.
Pak Menkes seharusnya fokus membenahi masalah-masalah yang ada saat ini saja, bukan malah membuat regulasi yang akan menimbulkan masalah lebih besar.
(Junai)